![]() |
Gracia Tobing, sedang membacakan puisi di acara Drop-In Dialogues Sumber Foto: N.Chesters |
Ketika kata berhamburan di internet, puisi bertebaran di media sosial, kelompok perempuan kreatif yang menamakan diri Fat Velvet justru menggelar workshop menulis puisi. Hasil workshop dirayakan lewat deklamasi di sebuah cafe.
Sore yang cerah di Please, Please, Please! Cafe and Resto, Jalan Progo, Bandung, Minggu 6 Mei 2018. Di lantai dua kafe itu, beberapa anak muda sibuk meyiapkan acara bertajuk Drop-In Dialogues tentang sastra. Sebuah proyektor disorotkan ke tembok yang sudah dilapisi layar putih, soundsystem dipasang, mic didirikan di atas karpet yang dijadikan panggung.
Para penonton, kebanyakan muda-mudi, berangsur-angsung mendatangi acara. Mereka duduk lesehan, ada juga yang duduk di kursi kafe. Tata letak sengaja didesain informal agar terjadi interaksi atau dialog yang tidak formal sesuai tema Drop-In Dialogues.
Para penonton, kebanyakan muda-mudi, berangsur-angsung mendatangi acara. Mereka duduk lesehan, ada juga yang duduk di kursi kafe. Tata letak sengaja didesain informal agar terjadi interaksi atau dialog yang tidak formal sesuai tema Drop-In Dialogues.
Drop-In Dialogues terdiri dari dua rangkaian acara. Rangkaian pertama berlangsung Minggu 29 April 2018 lalu berupa Creative Writing Workshop dan Dramatic Reading Workshop, yang difasilitasi seniman Amenkcoy, penulis Sundea, seniman Wanggi Hoed dan Christie Vaam Laloan.
Nah, ujung dua workshop tersebut mengusung tema Drop-In Dialogues: We Thrive Through Words berupa Open Mic Poerty Reading dari seniman maupun peserta workshop dan pengunjung. Pembaca puisi pertama dilakukan Mohamad Chandra Irfan, penulis puisi, essai dan juga seniman teater dari Institute Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
Sebelum membacakan puisi, pria berambut gondrong ini mengapresiasi literasi yang digelar Fat Velvet. Menurutnya, kegiatan literasi termasuk langka di tengah fenomena visual seperti sekarang ini. Chandra mengacu pada peristiwa terdesaknya teks literatur di tengah dominasi gambar atau foto di televisi maupun di internet, khususnya media sosial. Lewat Drop-In Dialogues, kata Chandra "Sastra dirayakan dan belum mati".
Salah satu puisi yang dibacakan Chandra berjudul "Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?" karya Wiji Tukul, penyair sekaligus aktivis buruh yang diculik di zaman Orde Baru. Hingga kini Thukul masih dinyatakan hilang.
Waktu aku jadi buronan politik
karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek – biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku –4 th—melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA
Demikian penggalan puisi Wiji Thukul yang ditulis 1997 itu, yang dibacakan Chandra penuh emosi dan tegangan. “Wiji Thukul memang telah dihilanglan tapi hari ini kita merasakan puisinya,” katanya.
Penulis buku puisi Mana Putih dan Mana Ajal (Langgam Pustaka, 2017) itu masih membacakan puisi lainnya, antara lain tentang peristiwa pembantaian terhadap orang yang dituding PKI pada 1965.
Ketegangan yang dibawakan Putri Elgabi lewat cerpen Seno berbeda dengan ketegangan yang disampaikan Chandra lewat puisi Wiji Thukul. Putri Elgabi mengucapkan diksi pantai, senja, benci, sedangkan Chandra meneriakkan darah, peluru dan bedil.
Bagi Putri Elgabi, berpuisi adalah kebahagiaan. "Membahasakan isi semesta, menyampaikan segala sesuatu yang berjiwa', kata perempuan yang rajin menulis di akun @eunoiapoerty.
Baca juga : "Fat Velvet, Kolektif Para Perempuan Kreatif"
Selanjutnya, giliran seniman pantomim Wanggie Hoediyanto yang tampil di belakang mic. Kali ini ia tidak melakukan aksi bisu yang teatrikal sebagaimana sering ia lakukan selama ini, melainkan membaca puisi juga. Satu puisinya berjudul "Interupsi Sunyi" menyoroti fenomena riuhnya media sosial di mana kata-kata membanjiri, bahkan diperjualbelikan atau dikapitalisasi.
Baca juga : "Fat Velvet, Kolektif Para Perempuan Kreatif"
Selanjutnya, giliran seniman pantomim Wanggie Hoediyanto yang tampil di belakang mic. Kali ini ia tidak melakukan aksi bisu yang teatrikal sebagaimana sering ia lakukan selama ini, melainkan membaca puisi juga. Satu puisinya berjudul "Interupsi Sunyi" menyoroti fenomena riuhnya media sosial di mana kata-kata membanjiri, bahkan diperjualbelikan atau dikapitalisasi.
Selama membacakan puisi, Wanggi Hoed—demikian ia biasa disapa—tetap khas dengan gaya teatrikalnya, ia membakar dupa, bergerak-gerak ganjil, kadang bersenandung diiringi petikan gitar. Wanggi juga menghargai acara Drop-In Dialogues yang memuliakan kata-kata lewat proses workshop dan pembacaan karya. Wanggi yang menjadi mentor pada sesi Drop-In Dialogues: Dramatic Reading Workshop mengatakan, “Menulis itu susah dan berat, pekerjaan yang harus serius, penuh tantangan,” ujarnya.
Setelah itu, penonton yang sebelumnya mengikuti workshop maupun yang sekadar nonton, juga diberi kesempatan membacakan puisi. Puisi yang dibacakan bebas, mau karya sendiri maupun karya orang lain ataupun penyair idaman.
Samuel Leonardi, mahasiswa DKV Telkom University, menjadi salah seorang pengunjung yang membacakan puisi. Meski kuliah di desain komunikasi visual, ia mengaku suka menulis puisi. Baginya, puisi punya kewajiban menyampaikan makna kepada masyarakat.
Pembacaan puisi itu berlangsung hingga malam menjelang, menenggelamkan sore yang cerah seperti digambarkan cerpen Seno yang dibacakan Putri Elgabi, “Senja yang paling keemas-emasan sekalipun hanya akan berakhir dalam keremangan menyedihkan...” (Penulis: Iman Herdiana)
0 komentar:
Post a Comment